Wanita karir, dalam segala levelnya, kian hari kian mewabah. Dari posisi pucuk pimpinan negara, top executive, hingga kondektur bus bahkan tukang becak. Hingga kini boleh dibilang nyaris tidak ada jenis profesi yang belum terambah kaum hawa. Nampaknya, wanita telah meninggalkan kehidupannya yang khas pada era agraris. Pada era tersebut ia adalah makhluk rumah sejati. Ia mengasuh anak-anaknya dengan setia, juga berperan dalam perekonomian keluarga dengan aktivitas di ladang-ladang tradisional seputar rumahnya. Dalam mitos pertanian, wanita adalah petani pertama di muka bumi ini. Sang suami, berkelana dari hutan ke hutan, padang ke padang untuk berburu binatang. Ketika binatang-binatang tertentu ternyata diketahui dapat dipelihara dan diternakkan maka pertanian dikembangkan secara intensif. Wanita pun masih tak beranjak dari posisinya. Mereka tahu kapan menemui suami di ladang, menyusui anak, dan kapan harus menanak nasi dirumah. Dan yang khas, mereka tidak pernah bekerja pada suami orang lain.
Materialisme yang subur pada masa Renaissance telah menggiring manusia pada era industrialisasi. Pandangan baru ini melihat wanita dan laki-laki sama saja kodratnya, yakni sebagai faktor produksi. Hanya saja dengan dilatarbelakangi pertimbangan fisik dan kelas sosial yanmg berlaku upah kerja wanita selalu nomor dua. Kapitalisme menghancurkan industri rumah tangga satu persatu. Satu superpabrik dengan multi produksi cukup untuk satu kota atau negara. Dan manusia pekerja tersedot ke dalamnya, termasuk wanita.
Wanita pun akhirnya berduyun-duyun meninggalkan “istananya”, berbaur dengan pria memasuki pabrik untuk menjadi pekerja atau buruh dengan upah rendah. Ketika itu pula, mulai terdengar jerit tangis para balita yang pagi hari sudah kehilangan ibunya.
“Dengan bekerja, saya bisa membelikan susu anak saya dan membelikan banyak mainan untuk mereka. Suatu hal yang sulit jika saya hanya mengandalkan gaji suami yang pas-pasan.” Demikian argumen yang sering kita dengar yang sepintas mungkin sangat manusiawi. Namun sayang, harga yang dibayar terlampau mahal dari hanya sekedar susu formula dan mainan anak-anak. Kasih sayang yang hilang, kecemasan, dan ketakutan anak-anak ketika ditinggal sang ibu, akan masuk ke alam bawah sadarnya dan mempengaruhi perkembangan pribadinya hingga kelak dia dewasa. Pendidikan dien dan akhlak pun merupakan hal yang sangat sulit jika seharian hanya berinteraksi dengan pembantu dan dididik televisi. Lantas, bagaimanakah jadinya generasi ini?
Motif yang lain yang lebih tinggi tinggi tingkatannya adalah motif psikologis dan tuntutan untuk mengaplikasikan ilmu yang telah didapat. Gerakan emansipasi yang didengungkan wanita barat telah berhasil memancing naluri wanita seantero bumi untuk berusaha menunjukkan eksistensinya. Wanita memang hebat. Banyak diantara wanita yang tidak kalah berhasil bahkan lebih berprestasi daripada kaum pria. Namun, di lain pihak, bisakah para wanita menjadi “super women” yang sukses dalam menjalankan peran gandanya? Jika kemudian statistik menunjukkan angka kriminalitas, perceraian, perselingkuhan meningkat dikarenakan terabaikannya keluarga sebagai basis pendidikan moral yang utama, sungguh, lagi-lagi harga yang dibayar terlalu mahal.
Motif yang lain yang lebih tinggi tinggi tingkatannya adalah motif psikologis dan tuntutan untuk mengaplikasikan ilmu yang telah didapat. Gerakan emansipasi yang didengungkan wanita barat telah berhasil memancing naluri wanita seantero bumi untuk berusaha menunjukkan eksistensinya. Wanita memang hebat. Banyak diantara wanita yang tidak kalah berhasil bahkan lebih berprestasi daripada kaum pria. Namun, di lain pihak, bisakah para wanita menjadi “super women” yang sukses dalam menjalankan peran gandanya? Jika kemudian statistik menunjukkan angka kriminalitas, perceraian, perselingkuhan meningkat dikarenakan terabaikannya keluarga sebagai basis pendidikan moral yang utama, sungguh, lagi-lagi harga yang dibayar terlalu mahal.
Suatu hal yang dilematis, memang, jika kemudian wanita bekerja didorong oleh tuntutan untuk mengaplikasikan ilmu yang telah ia dapat. Oleh karena itu para wanita muslimah seharusnya mempelajari ilmu yang bermanfaat sesuai dengan kebutuhan wanita dan masyarakat walaupun tidak merupakan keharusan maupun fardu kifayah. Harus ada relevansi antara belajar dengan kebutuhannya sehingga wanita tidak menuntut sesuatu yang tidak diperlukan olehnya atau masyarakatnya. Jika keadaan memaksa hingga wanita musti bekerja di luar rumah, Islam telah memberikan batasannya. Yaitu: harus seizin walinya (ayah atau suami) untuk pekerjaan mubah, seperti mengajar anak putri atau menjadi perawat bagi pasien wanita; Tidak ikhtilat (campur baur) dengan pria atau berkhlawat dengan pria; Tidak bertabarruj dan memperlihatkan perhiasan atau kecantikannya; Tidak bersolek dan memekai parfum; Memakai hijab yang sesuai syari’at.
Bagaimanapun juga, tempat bekerja wanita yang sesungguhnya dan yang paling mulia adalah di dalam rumahnya. Disanalah wanita akan senantiasa terlindungi dan dapat lebih dekat dengan Allah manakala menetap di rumah, mencari ridha Allah dengan cara beribadah kepada-Nya, mencurahkan segenap kemampuan untuk mendidik sang buah hati, mentaati suami, dan memberikan kasih sayang kepada anggota keluarga.
Wanita yang hebat, bukanlah mereka yang harus bersaing berebut dunia dengan kaum pria. Wanita yang sukses adalah yang bertanggung jawab dengan tugas utama yang dianugerhakan Allah atasnya: mendidik generasi tangguh masa depan.
Sumber: www.mediamuslim.info
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah luangkan waktu memberi komentar ^_^