Kesulitan atau penderitaan hidup tampaknya sudah menjadi 'sunatullah ' kehidupan ini. Tiada seorang pun di dunia ini yang tak pernah dihinggapi kesulitan atau penderitaan. Mustahil seseorang sunyi dari kesulitan itu. Yang berbeda adalah derajat kesulitan itu dan kesanggupan pribadi seseorang dalam menghadapinya.
Rasulullah saw pernah ditanya, "Siapakah yang paling berat ujiannya?," Nabi menjawab,"Para nabi, kemudian yang terbaik, lalu yang terbaik, seseorang mendapatkan (bala) ujian sesuai dengan kadar agamanya, bila agamanya kuat maka bertambah berat ujiannya, dan apabila agamanya dangkal, maka Allah mengujinya sesuai dengan kadar agamanya, seorang hamba tidak akan lepas dari ujian sampai ia berjalan di bumi dengan keadaan tidak berdosa."
Fakta telah menunjukkan bahwa manusia yang paling gampang shock, kaget, dan paling cepat goncang menghadapi kesulitan-kesulitan hidup adalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, orang-orang yang ragu dan lemah imannya.
"Di antara manusia ada yang menyembah Allah dengn berada di tepi, maka bila ditimpa kebaikan ia merasa tenang, dan jika ditimpa fitnah ia membalikkan wajahnya (murtad) ia merugi di dunia dan akirat, itulah kerugian yang nyata." (QS. Al Hajj: 11).
Demikian itu karena mereka tidak beriman terhadap takdir Allah yang membuatnya rela, tidak mengimani Tuhan yang membuat tenang. Tidak pula beriman kepada para nabi sehingga dapat mene mukan keteladanan pada kehidupannya yang serba sulit, tidak mempercayai kehidupan akhirat yang menghembuskan udara segarnya yang dapat melegakan nafas, mengusir kesedihan dan membangkitkan harapan.
Orang yang mudah goyah dalam menghadapi cobaan dan ujian hidup ibarat perahu retak dan patah layarnya dihantam gelombang dan angin, sehingga gerakan ombak atau angin kecil saja, perahu itu akan goncang hebat dan miring, apalagi dikepung oleh gelombang dari perbagai penjuru tentu saja perahu itu akan segera tenggelam kedalam lautan yang dalam.
Kita sering temukan kasus bunuh diri justeru di lingkungan komunitas yang tidak peduli terhadap makna hidup beragama, dalam lingkungan masyarakat yang tidak lagi menegakkan norma-norma agama akan lebih banyak lagi ditemukan kasus-kasus yang mengerikan. Suasana akan menjadi kepedihan yang mematikan, duka cita yang mencemaskan dan kegelisahan yang mencekam dan kehidupan yang kehilangan makna. Sebab kesenangan yang ada hanyalah semu, penuh kepura-puraan dan kemunafikan.
Keteguhan Orang Beriman
Orang-orang beriman selalu sabar menghadapi bala' (malapetaka), paling teguh hatinya dan tegar menghadapi kesulitan hidup dan lapang dada. Dan tabah mengahadapi musibah, karena mereka tahu persis pendeknya umur untuk hidup di dunia dibandingkan keabadian di akhirat. Mereka tidak menginginkan surga sebelum surga yang sebenarnya.
"Katakanlah (wahai Muhammad) kesenangan dunia itu sebentar, dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun." (QS. Anisa' 77).
"Kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu." (QS. Ali 'Imran: 185)
Orang beriman mengetahui sunatullah (hukum alam) bahwa manusia itu akan diuji dengan nikmat kebebasan berkehendak dan menjadi kholifah di bumi sehingga mereka tidak menginginkan menjadi malaikat. Mereka tahu para nabi dan para rasul adalah manusia-manusia yang paling berat ujiannya dalam kehidupan dunia, paling sedikit menikmati kehidupan dunia, sehingga mereka tidak menginginkan lebih baik dari mereka dan dijadikannya sebagai teladan yang baik.
Al Quran mengatakan;
"Apakah kalian menyangka masuk surga, padahal kalian belum merasakan musibah yang telah menimpa orang-orang sebelum kalian, mereka telah ditimpa malapeteka dan kesengsaraan dan digoncangkan sampai rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya menyatakan, "Kapan pertolongan Allah tiba?" Katakanlah, "Sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat." (QS. Al Baqarah 214)
Nikmat dalam Suka dan Duka
Musibah yang menimpa dalam hidup ini bagi orang yang punya iman bukanlah pukulan ngawur, akan tetapi sesuai dengan takdir dan qodho' yang telah digariskan, hikmah azali, ketentuan ilahi sehingga mereka yakin, bahwa apa yang akan ditimpakan tidak akan luput dan apa yang diluputkannya tidak akan menimpanya.
"Musibah yang terjadi di bumi dan pada diri kalian adalah ditentukan sebelum kami lepaskan, sesungguhnya hal itu mudah bagi Allah." (QS: Al Hadid 22).
Allah telah mentakdirkan dengan lembut dan halus, menguji dan meringankan. "Sesungguhnya Allah maha halus lembut terhadap sesuatu yang ia kehendaki, sesunggunya ia maha mengetahui dan bijaksana." (QS. Yusuf 100).
Di antara kelembutan Tuhan ialah bahwa musibah dan kesulitan adalah pelajaran yang berharga dan pengalaman yang bermanfaat bagi agama dan dunianya, mematangkan jiwanya, mengasah imannya dan menghilangkan karat hatinya.
Perumpamaan seorang mu'min yang ditimpa malapeteka yang berat seperti besi yang dimaksukan api hingga hilang kotorannya dan tinggal yang baik.
Itulah nikmat-nikmat yang terdapat pada setiap musibah yang menimpa manusia, sehingga seseorang mungkin perlu bersyukur kepada Allah disamping rela terhadap takdir dan sabar terhadap ujiannya.
Setiap musibah dunia itu kadang-kadang diganti dengan yang lebih baik, oleh karena itu sewaktu Yusuf as disuruh memilih antara dipenjara dan hina dengan wanita cantik yang menarik ia memilih penjara. "Wahai Tuhanku ! penjara lebih aku sukai ketimbang dari memenuhi ajakan mereka kepadaku." Itulah ratapan Yusuf pada Allah ketika menghadapi ujian berupa godaan wanita.
Di antara ajaran nabi kepada umatnya adalah do'a "Ya Allah janganlah engkau jadikan musibah pada agama kami dan jangan menjadikan dunia sebagai cita-cita kami yang terbesar dan akhir pengetahuan kami." (HR. Turmudzi).
Seorang mukmin selalu melihat nikmat yang telah diberikan Allah sebelum ia melihat nikmat yang akan diterimanya. Ia melihat petaka yang akan terjadi (di akhirat) disamping telah melihat petaka yang telah menimpa. Sikap ini menimbulkan kelapangan hati dan keridhoan. Bala (peteka) yang terjadi telah ia hindari dan kenikmatan yang telah diterima cukup banyak dan menetap.
Urwah ibnu Zubair seorang ahli fiqh dari kalangan tabi'in adalah teladan yang baik bagi orang mukmin yang sabar, ridho, menghargai nikmat Allah.
Diriwayatkan bahwa kakinya sakit kanker dan dokterpun memutuskan untuk diamputasi (dipotong) supaya tidak menjalar, lalu dokter memberinya obat bius supaya tidak terasa sakit. Namum ia berkata "Aku tidak yakin seorang mukmin mau minum obat yang menghilangkan kesabarannya sehingga tidak mengenali Tuhannya untuk itu potonglah kakiku." Merekapun memotong kakinya dan iapun diam tidak mengeluh.
Takdir telah menghendaki untuk menguji hambanya sesuai kadar imannya, di malam ia dipotong kakinya, seorang anak yang paling ia cintai jatuh dari lantai atas dan meninggal dunia. Orang-orangpun datang kepadanya dan menghiburnya, iapun berkata "Ya Allah, segala puji hanya untukmu, anak tujuh, dan kau ambil satu berarti masih kau sisakan enam. Sungguh bila Engkau mengambilnya, ya memang itu adalah pemberianmu dan jika engkau menguji dengan sakit, Engkau telah menyembuhkannya."
Manisnya Pahala dan Pahitnya Kepedihan
Mengharap pahala dari Allah atas musibah yang menimpanya adalah kenikmatan ruhaniah lain yang dapat meringankan malapeteka. Pahala ini tercermin pada peleburan dosa-dosa betapun banyaknya, dan menambah kebaikan yang sangat dibutuhkannya. Dalam suatu hadist shahih disebutkan, "Kesusahan dan kegelisahan, kepayahan, sakit sampai duri yang melukai yang menimpa seorang muslim tidak lain kecuali Allah menghapus dosa-dosanya denganya."
Salah seorang shaleh, kakinya terluka namun ia tidak mengeluh kesakitan, bahkan tersenyum dan membaca inna lilahi wa inna ilahi raji'un lalu ditanya, "Kenapa tuan tidak mengeluh?" "Sesungguhnya manisnya pahala membuat aku lupa akan pahitnya rasa sakit," jawabnya menatap.
Itulah sesungguhnya sikap orang beriman ketika menghadapi bala', ujian dan musibah.*/aql
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah luangkan waktu memberi komentar ^_^